Jumat, 11 April 2008

PENGELOLAAN PELABUHAN DAN KETAHANAN EKONOMI WILAYAH

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Lahirnya undang-undang otonomi daerah telah membawa perubahan besar dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Ada hal mendasar yang mengalami perubahan signifikan terkait demokrasi dan demokratisasi pasca diberlakukannya UU otonomi daerah, yaitu : menyangkut rekrutmen pejabat pemerintah daerah dan proses legislasi di daerah. Beralihnya kewenangan pengesahan sebuah peraturan (Perda) di tangan para pejabat lokal (DPRD, gubernur, bupati atau walikota) mengindikasikan bahwa kewenangan untuk mengarahkan pembangunan dan kesejahteraan di tingkat lokal sepenuhnya berada di bawah kekuasaan dan kehendak para pejabat tersebut. Akan tetapi, beralihnya kewenangan tersebut menjadi benih awal lahirnya konflik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya konflik antara PT Pelindo III dengan Dinas Perhubungan Kabupaten Gresik. Konflik tersebut dipicu oleh lahirnya Perda No. 03/2001 tentang Penataan Ruang Pantai Pesisir dan Pelabuhan Tahun 2000 s/d 2010 dan Perda No. 19/2001 tentang Kepelabuhanan di Kabupaten Gresik, yang dinilai bertentangan dengan PP No. 69/2001 tentang Kepelabuhanan.

Kabupaten Gresik memiliki delapan DUKS (Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri) yaitu : DUKS PT. Maspion; DUKS PT. Smelting; DUKS PT. Petrokimia Gresik; DUKS PT. Pertamina Asphalt; DUKS PT. PLN PJB II Gresik; DUKS PT Semen Gresik; DUKS PT. Indonesia Marina Shipyard; dan DUKS PT Nusantara Plywood. Sebelum otonomi daerah, pengelolaan DUKS tersebut sepenuhnya berada di bawah PT Pelindo III sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Berkobarnya semangat otonomi daerah telah memotivasi Pemda Kabupaten Gresik mengambil alih pengelolaan DUKS tersebut, guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

2. Konsep Teoritik

a. Teori konflik

Diskripsi menurut Lewis Caser (1956:12), konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan status, kekuasaan dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan melainkan juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka. Lebih lanjut Caser mengatakan bahwa perselisihan atau konflik dapat berlangsung antara individu-individu, kumpulan-kumpulan atau antara individu dengan kumpulan-kumpulan.

Secara teoritis, konflik itu merupakan hasil dari akumulasi dan proses saling mempengaruhi dari berbagai macam faktor ketidakpuasan dalam masyarakat. Dengan kata lain, konflik merupakan suatu situasi atau kondisi adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerjasama. Pada umumnya, konflik akan terjadi di mana saja sepanjang terjadi interaksi atau hubungan antara sesama manusia, baik antara individu dengan individu maupun kelompok dengan kelompok dalam melakukan sesuatu (Sarjita, 2005:7).

Dari aspek sosiologis, Menurut Agus M Hardjana. (1994:24-30) konflik disebabkan beberapa hal. (1) salah pengertian atau salah paham akibat dari kegagalan komunikasi. (2) perbedaan tujuan dan nilai hidup yang dipegang. (2) perebutan atau persaingan dalam suatu hal yang sifatnya terbatas. (4) kurangnya kerjasama sehingga menimbulkan perasaan kecewa dan dirugikan. (5) tidak adanya perilaku untuk mentaati peraturan dan tatanan yang ada di masyarakat. (6) adanya usaha untuk menguasai dan merugikan. Di sisi lain, Soerjono Soekanto (2000:48) menilai bahwa konflik dapat disebabkan oleh empat hal. (1) perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.(2) perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. (3) perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. (4) perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

Memperhatikan beberapa penyebab konflik di atas, dapat diperoleh gambaran secara umum bahwa konflik dapat muncul ke permukaan apabila terjadi benturan kepentingan dari pihak-pihak yang merasa diperlakukan secara tidak adil. Ketidakadilan ini bisa menyangkut distribusi sumber-sumber ekonomi yang tidak merata. Dari kondisi yang dianggap tidak adil inilah, lantas mengaktualisasikannya dalam wujud konflik.

b. Pengelolaan Pelabuhan

Dalam bidang pelabuhanan, bergulirnya era otonomi daerah menyebabkan pemerintah mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan dan pembagian kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pelabuhan. Imbas nyata dari pelaksanaan otonomi daerah salah satunya adalah pemberian kewenangan daerah yang hanya sebatas untuk mengusahakan dan mengelola pelabuhan lokal, sedangkan pelabuhan regional dikelola oleh pemerintah provinsi dan untuk pelabuhan nasional/internasional dikkelola oleh pemerintah. Menurut penilaian pemerintah daerah pembagian tersebut masih belum mengikuti semangat otonomi daerah dan pemerintah daerah menginginkan untuk turut ambil bagian dalam pengelolaan pelabuhan regional, nasional dan internasional.

Kewenangan untuk mengelola dan mengusahakan ini dituangkan secara sah dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69/2001 Tentang Kepelabuhanan, adapun penjabaran PP No. 69/2001 tertuang dalam beberapa Keputusan Menteri yang berkaitan dengan pelabuhan di antaranya adalah KM No. 53 Tahun 2002 tentang tatanan kepelabuhanan nasional, KM No.54 Tahun 2002 tentang penyelenggaraan pelabuhan laut, KM No. 55 Tahun 2002 tentang pengelolaan pelabuhan khusus, dan KM No. 56 Tahun 2002 tentang Pelimpahan/Penyerahan Penyelenggaraan Pelabuhan Laut (Unit Pelaksanan Teknis/Satuan Kerja) Kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Seiring dengan semangat otonomi daerah, dengan landasan UU No. 22 tahun 1999, pemerintah daerah memahami bahwa pelaksanaan pengelolaan potensi daerah, dalam hal ini pengelolaan DUKS, ada pada pemerintah daerah (Kabupaten Gresik). Pemda Kabupaten Gresik menyikapinya dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) sebagai pijakan awal, yaitu : Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2001 tentang Penataan Ruang Pantai Pesisir dan Pelabuhan Tahun 2000-2010 dan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan di Kabupaten Gresik, yang kemudian disusul oleh peraturan-peraturan yang lain yang mendukung ataupun sebagai implementasi dari peraturan daerah tersebut.

c. Otonomi daerah

Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).

Slamet Haryono (2007) menguraikan pendelegasian kewenangan dalam otonomi daerah sebagai perwujudan dalam upaya membangun paradigma baru otonomi, sebagai berikut : (1) Pendelegasian kewenangan pengelolaan keuangan berdasarkan UU No. 25/1999. (2) Pendelegasian kewenangan politik. Pelimpahan kekuasaan politik kepada daerah, telah memberdayakan peran DPRD, yang mengarah pada terwujudnya sistem check and balance dalam sistem kekuasaan di daerah. (3) Pendelegasian kewenangan urusan daerah. Dalam konteks UU No. 22/99 pada prinsipnya bukan merupakan sesuatu yang didelegasikan dari atas seperti pada pemerintahan orde lalu, melainkan lebih sebagai tuntutan dari bawah sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah.

Dengan demikian, akan lebih bijaksana apabila makna otonomi luas dapat diartikan sebagai kebebasan yang bertanggung jawab untuk memilih dan menentukan urusan sesuai kebutuhan daerah dan dalam batas-batas kemampuan anggaran yang tersedia untuk membiayainya. Selanjutnya, otonomi yang luas tidak diartikan bebas semaunya dan dengan begitu maka daerah akan selalu mempertimbangkan bukan hanya soal banyak atau sedikitnya urusan yang ditangani, tetapi lebih kepada manfaat (benefit) yang diperoleh bagi masyarakat daerah tersebut. Diharapkan dari sini akan lahir dan terbangun akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

3. Landasan Teori

a. Analisis pemetaan konflik

Analisis pemetaan konflik merupakan suatu proses praktis untuk mengkaji dan memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang, sebagaimana model pemetaan konflik Paul Wehr dalam Lambang Trijono dkk (2006:264) yang menengarai konflik dengan menjelaskan bekerjanya elemen-elemen konflik yang meliputi : (1) Situasi/setting/konteks dari konflik yang mencakup latar sosial, ekonomi, dan politik dimana konflik berlansung dalam tempat dan waktu tertentu ; (2) Pihak-pihak yang berkonflik, yaitu unit-unit pengambilan keputusan, baik individu, kelompok, agen yang langsung maupun tidak langsung terlibat konflik; (3) Isu-isu (issues) yang dikonflikkan, yaitu mencakup topik atau hal yang dikonflikkan; (4) Dinamika konflik, yaitu pasang surut ekskalasi dan deekskalasi konflik serta kecenderungan persekutuan permusuhan dan pemisahan di antara pihak-pihak yang berkonflik ; (5) Resolusi konflik aktual dan potensial, yaitu resolusi aktual yang muncul ketika konflik berlangsung dan resolusi potensial yang masih tersimpan di kalangan pihak-pihak yang berkonflik.

Anas Urbaningrum (1999:18-19) menjelaskan bahwa pengaturan konflik dapat berupa bentuk-bentuk pengendalian atau pengelolaan konflik yang lebih diarahkan pada manifestasi konflik daripada sebab-sebabnya dengan asumsi bahwa konflik tidak mampu diselesaikan dan dibasmi, maka konflik dapat diatur sedemikian rupa sehingga konflik tidak menyebabkan perpecahan dalam masyarakat. Dahrendorf (1986) menyebutkan tiga bentuk pengaturan konflik, yaitu : 1) Lewat mekanisme konsiliasi; 2) Lewat mekanisme mediasi; 3) Lewat mekanisme arbistrasi.

b. Ketahanan ekonomi wilayah

Menurut R.M. Sunardi (2004:11), ketahanan nasional sesungguhnya merupakan gambaran atau model dari kondisi tata kehidupan nasional pada suatu saat tertentu. Sebagai kondisi sudah barang tentu berubah menurut waktu, atau merupakan fungsi dari waktu, karena itu disebut dinamik. Tiap-tiap aspek di dalam tata kehidupan nasional selalu berubah-ubah menurut waktu sehingga interaksinya yang kemudian menciptakan kondisi umum amat sulit dipantau karena sangat kompleks.

Teori ketahanan ekonomi wilayah merupakan derivat dari teori ketahanan nasional. Ketahanan ekonomi suatu wilayah dapat dikatakan kuat dan mampu menghadapi dan mengatasi segala ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan serta manjamin kelangsungan perekonomian wilayah apabila masyarakatnya sejahtera, karena tingkat kesejahteraan mencerminkan kemajuan perekonomian wilayah.

Membentuk masyarakat yang sejahtera, pemerintah harus bisa meningkatkan perekonomian dan menggali potensi wilayah dijadikan sumber pendapatan daerah. Wujud dari pendapatan asli daerah bisa berbentuk pajak retribusi maupun hasil pengolahan sumberdaya yang ada di wilayah. Dengan pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi diikuti tingkat kesejahteraan yang tinggi pula akan menghasilkan ketahanan ekonomi yang kuat. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat dan pendapatan asli daerah (PAD) maka ketahanan ekonominya akan semakin kuat dan masyarakat yang sejahtera tidak mudah diguncang oleh isu isu yang dapat memecah belah bangsa.

4. Metode Penelitian

Jenis penelitian deskriptif yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan unit analisis persoalan sengketa pengelolaan DUKS antara PT Pelindo III dengan Dinas Perhubungan Kabupaten Gresik. Responden dalam penelitian ini adalah pihak yang terkait yaitu : PT Pelindo III, Dinas Perhubungan Kab. Gresik, , Sekda Kab. Gresik Dispenda Kab. Gresik, DPRD Pemilik DUKS, INSA dan Perusahan Pelayaran. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik observasi langsung, teknik komunikasi langsung dan Teknik studi dokumen, sedangkan data digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik analisis deskriptif yang digunakan adalah flow model analysis atau model analisis mengalir, meliputi proses data reduction, data display, dan conclusion (Moleong, 1998:96).

Indikator yang digunakan untuk menilai dan memahami sengketa menggunakan Analisis pemetaan konflik yaitu : 1) Sumber konflik; 2) Pihak-pihak yang terlibat konflik; 3) Jalur konflik; 4) Usaha penyelesaian konflik. Sedangkan untuk menilai adanya implikasi konflik terhadap ketahanan ekonomi wilayah Kabupaten Gresik menggunakan indikator-indikator sebagai berikut : 1) Kategori ketahanan ekonomi wilayah (Pemasukan / pendapatan DUKS dan Akumulasi kepentingan); serta 2) Pengaruh konflik/sengketa.


>>>>A. Hartono, S.Kel., M. Si.

Tidak ada komentar: